ASWAJA PADA MASA NABI DAN SAHABATNYA, ASWAJA SEBAGAI PAHAM /ALIRAN,MENGENAL SOSOK ABU HASAN DAN ABU MANSYUR
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
ASWAJA
Dosen Pengampu: Siti Roichanah,M.S.I
Disusun oleh:
1.Rani Miranti
2.Yosita Bela Novelia Sari
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA TEMANGGUNG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi
“Ma Ana ‘Alaihi wa Ashabi” seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW
dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu
Dawud bahwa :”Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan
terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya masuk nereka kecuali satu
golongan”. Kemudian para sahabat bertanya ; “Siapakah mereka itu wahai
rasululloh?”, lalu Rosululloh menjawab : “Mereka itu adalah Maa Ana ‘Alaihi wa
Ashabi” yakni mereka yang mengikuti apa saja yang aku Lakukan dan juga dilakukan oleh para
sahabatku.
Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan
bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan oleh
Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu tidak sekedar kita maknai
secara tekstual, tetapi karena hal tersebut berkaitan dengan pemahaman tentang
ajaran Islam maka “Maa Ana ‘Alaihi wa Ashabi” atau Ahli Sunnah Waljama’ah lebih
kita artikan sebagai “Manhaj Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha” (
metode atau cara memahami nash dan bagaimana mentafsirkannya).
Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul
diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep
Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi (Wafat : 944 M) pada saat munculnya
berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang aqidah sudah tidak mengikuti
Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan banyak
dipengaruhi oleh kepentingan- Kepentingan politik dan kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah aswaja pada masa
nabi dan sahabatnya ?
2. Bagimanakah aswaja sebagai paham
atau aliran ?
3. Bagaimanakah sosok dari Abu
Hasan dan Abu Mansyur ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aswaja Pada Masa
Nabi dan Sahabatnya
Agama Islam yang di bawa oleh Rasulullah
SAW, merupakan satu kesatuan dari 3 unsur dasar yaitu, Iman, Islam, dan Ihsan.
Setelah Rasulullah SAW wafat, bibit perselisihan diantara ummat Islam mulai
tampak. Menurut para ahli sejarah firqoh-firqoh dalam Islam timbul pada akhir
pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan. Pertama-tama Abdullah bin Saba’
mempropagandakan suatu aliran yang diberi nama “Mazhab Wishayati yang berhasil
mempengaruhi para pendukung Ali bin Abi Thalib. Di samping itu di propagandakan
pula aliran-aliran. Hak Ilahi untuk memperkuat kedudukan Sayyidina Ali.
Propaganda Abdullah Ibn Saba’ berjalan secara intensif dan berhasil memperoleh
dukungan dan kaum muslimin.
Pada tahun 37 H
terjadi Perang Sifin antara tentara Khalifah Ali dengan
tentara Muawiyyah bin Abi Sufyan. Kelompok Ali yang tidak menghendaki perdaiman
membentuk barisan memisahkan diri dari kelompok Ali, lambat laun golongan
Khawarij menjadi beberapa Sekte. Selain itu, timbul kelompok yang menamakan
diri “Murjiah” di pimpin oleh Hasan bin Bilal al-Muzni. Adalagi kelompok
yang namanya “Jabariyah” tokohnya bernama Jahmbih Satwan. Faham fatalisme
yang di bawah oleh Jahm ini ternyata mendapat perlawanan kelas dari golongan
Wahdaniyah di pimpin Ma’bad Al-Juhaini.
Pada abad 2 H
muncullah golongan “Mu’tazilah” di pimpin Wasik bin Atha’. Golngan Mu’tazilah
dengan faham kebebasan rasio perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam
masyarakat Islam. Beberapa golongan atau firqoh diatas adalah tumbuh dan
berkembang karena persoalan politik. Banyaknya firqoh sudah barang tentu
menjadi bara api perselisihan semakin berkobar. Pada saat demikian, ajaran
Aswaja mutlak di populerkan kembali sehingga ummat Islam dapat terbebaskan dari
ajaran sesat. Jadi aswaja muncul bukanlah satu ajaran yang muncul sebagai
reaksi dan timbunya aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni, tetapi
Aswaja benar-benar sudah ada sejak Zaman Nabi dan justru aliran-aliran itulah
yang menodai kemurnian ajarannya. Aswaja sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Didalam buku Bugyatul
Mustarsyidin karangan Mufti Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad
bin Husein bin Umar, bahwa ada 72 firqah yang sesat bertumpu pada 7
firqah yaitu :
o
Faham Syi’ah, kaum yang
berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengakui
Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah
Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum Syi’ah terpecah menjadi
22 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah dan Kaum Ahmadiyah
Qad-yan.
o
Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang
berlebih-lebihan membenci Saidina Ali bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada
yang mengkafirkan Saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang
membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
o
Faham Mu’tazilah, yaitu kaum yang
berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya
sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata dalam surga, orang yang
mengerjakan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi
Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll. Kaum Mu’tazilah terpecah menjadi 20
aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Qadariyah.
o
Faham Murjiah, yaitu kaum yang
memfatwakan bahwa membuat maksiat (kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika
sudah beriman, sebaliknya membuat kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika
kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5 aliran.
o
Faham Najariyah, yaitu kaum yang
memfatwakan bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan,
tetapi mereka berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah
menjadi 3 aliran.
o
Faham Jabariyah, yaitu kaum yang
memfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau
usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya 1 aliran.
o
Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang
memfatwakan bahwa ada keserupaan Tuhan dengan manusia, misal bertangan,
berkaki, duduk di kursi, naik dan turun tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran
saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk
kaum pelaksana dari faham Ibnu Taimiyah.
Sebagai reaksi dari
timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad ketiga Hijriyah
muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori
oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu Hasan Ali
al-Asy’ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi. Perkataan
Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah saja atau
Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asy’ariyah, dikaitkan kepada
guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Ahlusunnah wal jama’ah
berarti kaum atau golongan yang menganut serta mengamalkan ajaran Islam yang
murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para sahabatnya. I’tiqad Nabi dan
sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul secara
terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan
dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar,
yaitu Sheikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari. Karena itu ada orang yang
memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah.
Dalam buku-buku Ushuluddin biasa dijumpai perkataan Sunni sebagai
kependekan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut-pengikutnya dinamai Sunniyun.
Di dalam buku ‘Ihtihaf
Sadatul Muttaqin’ karangan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni Az-Zabidi, yaitu
buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa apabila disebut kaum
Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikut
rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi.
Salah satu contoh amalah
nabi Muhammad kepada para sahabat adalah
Doa Qunut pada
solat Subuh adalah Sunnat, Menurut mazhab Imam Syafi’i, yang kami anut
dan yang dianut oleh Ulama’-ulama’ besar dalam mazhab Syafi’i, seperti Imam
Ghozali, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam ar-Ramli, Imam Khatrib
Syarbaini, Imam Zakaria Al-Anshari dan lain-lain, bahwa hukum membaca do’a
qunut dalam sembahyang Subuh pada i’tidal raka’at kedua adalah sunnat ‘aba’ad,
diberi pahala yang mengerjakannya dan tidak diberi pahala sekalian orang yang
meninggalkannya. Imam Sindi, pengarang Hasyiyah Salih Bukhari mengatakan
bahwa menurut sebagian qunut itu sudah dinasikkan semuanya tetapi ada
sebagian yang mengatakan bahwa qunut dalam sembahyang subuh tidak dinasikhkan.
B.
Aswaja Sebagai Paham
atau Aliran
Aswaja adalah aliran keagamaan yang
diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja
NU terkenal dengan nama Aswaja Nahdliyah, yaitu Aswaja yang menjadi keyakinan
dan dasar utama bagi warga NU dalam semua bidang, agama, sosial, pendidikan,
ekonomi, budaya, dan politik. Namun sayang, mayoritas warga NU belum memahami
secara mendalam apa itu Aswaja ?, apa yang membedakan Aswaja dengan aliran lain
?, dalil-dalil yang menjadi dasar amaliyah warga NU seperti tahlilan,
manakiban, yasinan, dan lain-lain ?, Apakah benar amaliyah warga NU termasuk
bid’ah dhalalah (sesat) ? kalau tidak, apakah termasuk kategori sunnah ? Wacana
bid’ah selalu dijadikan senjata untuk menyerang amaliah warga NU secara terus
menerus. Pelurusan wacana sangat penting dan mendesak, supaya warga NU bisa
mengamalkan tradisinya secara nyaman dan tenang.
Selain itu, tantangan modernisasi
dan globalisasi membuat formulasi Aswaja klasik mengalami kemunduran, karena
dirasa kurang mampu menjawab tuntutan dinamika zaman. Maka, menjadi suatu
keniscayaan melakukan penyegaran dan pembaruan doktrin Aswaja. Salah satunya
adalah menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr (metodologi berpikir)
dalam membaca realitas secara dinamis, analitis, produktif, dan solutif.
Persoalan muncul lagi, bagaimana mengaplikasikan Aswaja sebagai manhaj
al-fikrdalam organisasi dan program-programnya. Disinilah pentingnya membumikan
Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam organisasi dan program-programnya
supaya operasional kuatitatif sehingga bisa meningkatkan kualitas warga NU
secara maksimal.
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte,
ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah
doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini
menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.
Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan
apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan
menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di
kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara
eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.
Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan
pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti
Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa
mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf
mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.
Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin
aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di
pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan
landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho’if) dan atsar sahabat
disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah
Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin
mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal
ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.
Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan
tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja.
Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul
dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman
ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.
C. Mengenal Sosok
Abu Hurairah dan Abu Mansyur
· Abu al Hasan bin Isma'il alAsy'ari
(lahir: 873 wafat: 935), adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asy'ari
· Latar Belakang Abu Hasan
namanya Abual-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara ,Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-Asy'ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M [1] Al-Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad. pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya".
Dia cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujjatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya,tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti/mendukung pendapat/paham imam ini dinamakan kaum/pengikut "Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama imamnya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham imam ini, yang dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama "20 sifat Allah", yang banyak diajarkan di pesantren yang berbasiskan Ahlussunnah Wal Jama'ah dan Nahdhatul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.
· Karya-karyanya
Ia meninggalkan karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan. Kitabnya yang terkenal ada tiga :
1 Maqalat al-Islamiyyin
2 Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah
3 Al-Luma
Kitab-kitab lainnya:
4 Idhāh al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyān
5 Tafsir al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi')
6 Ar-Radd 'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān
7 Al-Fushul fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-Millah
8 Al-Qāmi' likitāb al-Khālidi fi al-Irādah
9 Kitāb al-Ijtihād fi al-Ahkām
10 Kitāb al-Akhbār wa Tashhihihā
11 Kitāb al-Idrāk fi Fununi min Lathif al-Kalām
12 Kitāb al-Imāmah
13 At-Tabyin 'an Ushuli ad-Din
14 Asy-Syarhu wa at-Tafshil fi ar-Raddi 'ala Ahli al-Ifki wa at-Tadhlil
15 Al-'Amdu fi ar-Ru'yah
16 Kitāb al-Maujiz
17 Kitāb fi Khalqi al-A'māl
18 Kitāb ash-Shifāt
19 Kitāb ar-Radd 'ala al-Mujassimah
20 An-Naqdh 'ala al-Jubbā'i
21 An-Naqdh 'ala al-Balkhi
22 Jumal Maqālāt al-Mulhidin
23 Kitāb fi ash-Shifāt
24 Adab al-Jidal
25 Al-Funan fi ar-Raddhi 'ala al-Mulhidin
26 An-Nawādir fi Daqaiqi al-Kalām
27 Jawāz Ru'yat Allah bil Abshār
28 Risālah ila Ahli Ats-Tsughar]
· Imam Abu Mansyur Al-Maturidi
(wafat
333 H / 944 M) adalah salah seorang
ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah dan
imam aliran aqidah Maturidiyyah yang anut
sebagian besar pengikut Mazhab Hanafi, serta
seorang ahli ilmu kalam.
· Latar
Belakang Abu Mansyur
Imam
Abu Mansur Al-Maturidi, atau lengkapnya Abu Mansur Muhammad bin Muhammad
bin Mahmud Al-Maturidi As-Samarqandi Al-Hanafi .
Imam Al-Maturidi dilahirkan di
Maturid, sebuah pemukiman di kota Samarkand (sekarang termasuk
wilayah Uzbekistan) yang terletak di seberang
sungai. Di bidang ilmu agama, ia berguru pada Abu Nasr al-'Ayadi and Abu Bakr Ahmad al-Jawzajani. Ia banyak menulis tentang
ajaran-ajaran Mu'tazilah, Qarmatiyyah, dan Syi'ah.
· Karya-karyanya
Ia meninggalkan beberapa karangan
diantaranya
1.Kitab Al Tawhid
3.Radd al-Tahdhib fi al-Jadal, sanggahan terhadap Mu'tazilah
4.Kitab Bayan Awham al-Mu'tazila, 'Kitab Pemaparan Kesalahan
Mu'tazilah'
5.Kitab Ta'wilat al-Qur'an.
6.Kitab al-Maqalat
9.Radd al-Usul al-Khamsa, sanggahan terhadap pemaparan Abu
Muhammad al-
Bahili' tentang lima prinsip
Mu'tazilah
10.Radd al-Imama, sanggahan terhadap konsepsi keimaman syiah
11.Al-Radd `ala Usul al-Qaramita
12.Radd Wa`id al-Fussaq
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
v Agama Islam yang di bawa oleh Rasulullah SAW,
merupakan satu kesatuan dari 3 unsur dasar yaitu, Iman, Islam, dan Ihsan.
Setelah Rasulullah SAW wafat, bibit perselisihan diantara ummat Islam mulai
tampak. Menurut para ahli sejarah firqoh-firqoh dalam Islam timbul pada akhir
pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan.
v Aswaja adalah aliran keagamaan yang diikuti oleh mayoritas umat
Islam Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja NU terkenal dengan nama
Aswaja Nahdliyah, yaitu Aswaja yang menjadi keyakinan dan dasar utama bagi
warga NU dalam semua bidang, agama, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan
politik.
v Abu al Hasan bin Isma'il al Asy'ari
(lahir: 873 wafat: 935), adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asy'ari.
Imam Abu Mansyur Al-Maturidi.
(wafat 333 H / 944 M) adalah salah seorang ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah dan imam
aliran aqidah Maturidiyyah yang anut
sebagian besar pengikut Mazhab Hanafi, serta
seorang ahli ilmu kalam.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Mansur_Al_Maturidi
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_al-Hasan_al-Asy%27ari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar